Pulang
Terbilang hati resah pada lautan pasir ini, menghitung kerikil dan batu yang lekas jadi tua, sepanjang bayang bunga tebu dan jantung pisang luruh berjatuhan hingga jauh ke dalam lubuk perigi kampungku yang kian renta, masih juga kepapaanmu membekas seolah engkau tak pernah jua tersentuh peradaban. Setelah sekian lama... ya sekian tahun kau kutinggalkan, masih juga wajahmu tak banyak berubah, jalan batu berdebu itu, huma-huma yang lengang, bocah bermain di sepanjang pematang, kerbau berkubang dan bau kemalasan yang tak kunjung berubah, nyaris…serupa panorama 10 tahun yang lalu saat engkau kutinggalkan.
Hanya tiang-tiang listrik dan roda-roda angkutan pedesaan yang lewat sajalah yang mencairkan kebekuan wajahmu, roda-roda yang menghembuskan debu dan asap hitam knalpot sepanjang jalan yang kulalui, meninggalkan kepedihan yang sarat, tumpat padat dalam dadaku sampai tak kuasa aku menahannya pecah dalam serpihan isak tertahan. Bagaimana harus kulukiskan perasaan ini sedang yang tersisa cuma rasa sakit yang dalam, rasa sakit yang mencabik-cabik hingga membekas pada seluruh ingatan, kenanganku atas kampung emak di punggung perbukitan gundul ini. Kukenal setiap jengkal tanah berbatu dan setiap lobang-lobang kubangan kerbau, bau kotoran yang memenuhi udara sepanjang pematang, dan batang-batang kayu yang meranggas. Aku ingin menangis, menangis seperti aku tak pernah menangis sebelumnya, seperti ketika pertama kali semua pemandangan ini kutinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
Aku masih ingin menangis seperti aku menangis ketika bapak mengusirku dari desa terpencil ini, dari rumah masa kecilku, dan semua peristiwa menjadi begitu jelas terbayang di pelupuk mataku. Setelah sekian lama, akhirnya aku pulang… oh Emak, ini aku anakmu, anakmu yang hilang pulang ke haribaanmu, duhai Emakku bagaimana gerangan dirimu sekarang? Adakah engkau selalu terkenang akan anakmu ini? anak durhaka yang memaksa diri pergi memperturutkan keinginannya. Duh Emak, ampuni aku, betapa pun aku tak akan kuasa memandang wajahmu, betapapun aku tak layak bersujud di bawah kakimu, tapi rinduku seakan bisul yang tak dapat kutanggungkan lagi. Ampuni aku Emak…ampuni aku. Kuseka air yang menetes dari mataku yang perih, ada terselip perasaan gundah sekalipun aku tahu anak istriku sepenuhnya memahami apa yang tengah aku rasakan, seperti perasan yang dapat kutangkap dari pandangan wajah mereka yang penuh rasa simpati, karena mereka tahu sudah sekian lama aku tak pernah pulang ke rumah emakku.
Seharusnya waktu mengajarku mengerti atau setidaknya menjadikan diriku lebih bijaksana, tapi waktu sepertinya mengaburkan semua ingatanku dan mungkin juga waktu tak mampu merubah diriku. Kini tiba-tiba semua kilasan peristiwa yang membawa kepergianku kembali jelas terbayang, semua hal yang selama ini ingin kulupakan namun akhirnya membawaku kembali juga ke dusun ini, dengan segala gejolak perasaan, dada dipenuhi rasa gentar yang tak juga sanggup aku tepiskan. Apa yang sudah jadi pergunjingan orang selama ini? Harus kuhadapi semua tudingan mereka yang menganggapku sebagai anak tak tahu diri, melupakan nasib bapak dan emak yang penuh petaka, mengais-ngais tanah rengkah demi mencari umbi ketela yang terkubur begitu dalam dan perbukitan kapur di atas sana mengirimkan dukanya runtuh sekeping demi sekeping.
Selama ini memang tak pernah tersirat dalam benakku, nasib emak yang berasa sendiri saja menunggui laki-laki tua itu, melupakan umur dan anaknya sulung yang jauh pergi merantau. Hidup tinggal kesiaan jadi begitu leta, bagaikan sayur yang hambar dari kacang dan buncis sudah lama tak lagi tumbuh di pekarangan tanah rengkah. Barangkali juga sudah lama tak ada pendiangan di dapur belakang rumah dan panci aluminium itu makin keropos oleh noda karat. Juga pembaringan kayu yang dulu jadi tempat aku dan adikku bermain kala masa kanak-kanak telah jadi demikian rapuh menahan tubuh bapak dan emak yang semakin kering oleh udara demikian gerah. Barangkali benar sudah terlalu lama kulupakan satu-satunya sumur di belakang rumah yang makin kerontang oleh lautan pasir, penuh berisi kerikil dan batu kapur mengubur bayangan emak yang surut perlahan dari sisa-sisa kenangan yang ditelan rakusnya mulut sang waktu.
Semua itu terjadi hanya karena aku sudah jemu pada omongan bapak seolah hasratku hanya dipenuhi oleh gebyar tontonan televisi dibalai desa, dan riuhnya suara radio yang memperdengarkan asyiknya irama dangdut. Sedang segala kemajuan teknologi dan informasi yang kubaca dari potongan koran yang kuperoleh dari guruku di sekolah menengah sudah semakin jauh meninggalkan kampung kami yang terbelakang. Ini zaman hand phone multi color, high speed internet dan pesawat Columbia bolak-balik ke bulan, tapi Bapakku masih saja sibuk dengan tanah rengkah, batang-batang ketela, kerbau, perkutut, bunyi jengkerik tiap malam dan satu-satunya teknologi yang kami miliki cuma radio transistor 1 band melantunkan Pangkur dan Dandanggula, tak ada Heavy Metal, Swing atau Jazz. Bapak tak kenal telephone, yang ia tahu cuma corong langgar satu arah menggemakan takbir dan panggilan sholat. Aku jemu dan pergi…persis seperti yang ia minta.
Potret bapakku memang sudah lama usang dan basi, tenggelam dalam bayang kelabu kampungku, tegalan kering, pohon meranggas, debu dari jalanan berbatu yang kutinggalkan 10 tahun yang lalu. Betul sekarang listrik sudah menyala, jalanan dari kecamatan sampai gerbang dusun sudah mulai beraspal, dan mungkin saja emak tak perlu menempuh 5 Km hanya untuk mengambil seember air bersih bila sumur kami kekeringan. Aku sungguh-sungguh merindukan ibu dan 4 orang adikku, tapi aku tak tahu apakah mereka akan menerima kepulanganku setelah sekian lama aku pergi tanpa berkabar berita.
Pikiranku menerawang, seandainya saja aku tak memutuskan pulang hari ini maka mereka mungkin tak akan pernah tahu kalau aku juga sudah jadi ‘orang’ seperti yang mereka inginkan. Takdir yang membawaku ke ibukota, membuatku terbiasa dengan asap bus kota dan bau keringat tengah hari, pergumulan nasib yang akhirnya membuatku berhasil memiliki dua buah kios di pasar induk. Namun kadang-kadang kerinduan itu merasuk diriku dan setiap kali hasrat pulang itu datang aku selalu menunda demi harga diri yang sudah terlanjur terluka. Sekalipun anak istriku telah lama mendesak, mereka ingin bertemu juga dengan bapak dan emakku, tapi aku selalu menemukan jawaban untuk mengelak. Tidak tahun kemarin dan entah pula lebaran tahun ini? Selalu kubilang pada anak istriku kalau aku tak pernah lupa mengirimkan wesel kepada emak dan juga selembar cerita bahwa Monas makin megah, Taman Mini tak kehilangan serinya, juga tidak nampak lagi sisa banjir tahun lalu, tapi sesungguhnya semua itu hanya rekaanku semata untuk menepiskan kegalauan hatiku. Pikiran yang sama pulalah yang selama ini berkecamuk dalam diriku, apakah suatu waktu nanti aku sanggup membuat bapak mengerti, bahwa sudah dua orang anakku sekarang, mereka ingin juga menengok kakeknya bukan cuma sekedar di dalam mimpi. Betapa aku ingin pulang ke rumah bapak, tapi entah kapan? apakah harus kutunggu bapak menjadi tua dan pikun, lupa pernah mengusir aku dari rumahnya?
***
Ada deru yang meninggalkan kampungku, iringan orang-orang berjalan sepanjang arah kepemakaman menyisakan debu yang melekat di ujung rerumputan. Jalanan jadi lengang, angin pun enggan berbisik, dan aku seperti menangkap sebuah isyarat ada sesuatu yang telah terjadi. Iring-iringan orang yang sepertinya aku kenal, beberapa orang tetangga dari masa kecilku.
Sumardi, ya itu pasti Sumardi teman sepermainanku dulu. Maka kupinggirkan mobil dan bergegas kubuka pintu, “Di, Mardi..!” teriakku.
Laki-laki setengah baya berpeci hitam dan berbaju abu-abu sedikit lusuh itu segera memalingkan muka dan berjalan meninggalkan iring-iringan menghampiriku, ada tanda tanya dalam wajahnya. Aku segera menyambut dan menyalami tangannya yang dingin.
“Di…ini aku Parmin, lupakah kau padaku?” kataku dengan antusias.
Sejenak wajah itu ternganga mencoba menemukan isyarat dari masa lalunya.
“Oh masya Allah Min …” kata-kata itu terputus di tenggorokan Mardi karena ia buru-buru memeluk diriku tanpa berkata-kata. Aku kaget dengan sikapnya yang demikian, tapi setelah sekian masa tak bersua barangkali ia merasakan kerinduan yang sama seperti yang kurasakan juga. Sesaat kemudian Mardi melepaskan pelukannya.
“Min, …untung kamu bisa pulang.”
Kulihat mata Mardi berkaca-kaca, seperti ada perasaan galau yang dipendamnya dan enggan untuk disampaikannya padaku.
“Ya Di, aku juga bersyukur bisa pulang sekarang.”
“Berarti kamu sudah terima kabar dari Peno adikmu?”
“Kabar? Kabar apa Di?” aku kebingungan
Sejenak Mardi terdiam sebelum akhirnya dikatakannya juga, “Kabar kalau emakmu sudah berpulang ke rahmatullah?”
Pandanganku tiba-tiba nanar, dan aku nyaris terjatuh untung Mardi buru-buru menyangga tubuhku yang limbung.
“Oh Di… benarkah yang kau katakan itu… aku tak tahu… kapan emakku meninggal?” kataku terbata
“Semalam Min, kami sudah kuatir kau tidak bisa pulang karena baru tadi pagi Peno mengirim telegram ke Jakarta.”
“Jadi….”
“Ya itu iringan jenazah emakmu yang akan dikuburkan.”
Mulutku tercekat, ada ngilu yang menyesak di dalam dada menjelma isak yang tertahan di tenggorokan. Tapi aku mencoba menguatkan diri untuk tidak menangis hanya untuk menyembunyikan kepedihan hatiku.
Apakah aku telah menangkap semua isyarat akan kejadian ini? Dalam perjalanan semalam tak kulihat wajah rembulan yang mulai tua dan bintang pun enggan menampakkan wajahnya, juga atas sikap bapak yang bahkan tak mau menemui istri dan anak-anakku. Semua terjadi di luar apa yang dapat aku bayangkan. Ternyata kemarahan bapak tak pernah sirna, dan kematian ibu semakin mengukuhkan kebenciannya padaku. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan pada istri dan anakku yang kebingungan dan isyarat demi isyarat menjadi sebuah gambaran yang semakin kabur dalam pandangku.
Kususuri jalan ke rumah dengan penuh perasaan bimbang dan tampak rumah masa kecilku yang sudah mulai condong ke Barat, juga pekarangan yang lengang, tegalan dan sumur kering di belakang rumah. Pohon-pohon kelapa di depan rumah tak nampak satu pun berbuah. Mungkin emak sudah terlampau lama menunggu kepulanganku dan ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Maafkan aku Mak…hatimu telah tercuri, bagai cadar embun yang menguap saat mentari tiba, telah lama tak kukecapi garammu dan kini telah jadi demikian hambar di lidahku. Engkau kini tinggal jadi sengatan seribu ingatan pada tubuh anakmu lanang ini. Semua sudah demikan terlambat, waktu yang tak mau lagi berpihak pada kekerasan hatiku dan aku cuma bisa bersimpuh di pembaringanmu terakhir sebagai anak durhaka yang belum sempat memohon ampunan. Aku hanya bisa menangisi kepapaan diriku didera sejuta sesal karena mengabaikan semua isyarat kerinduanku kepada emak selama ini.
Emak telah kehilangan hari-harinya dan demikian juga aku. Apakah aku akan jadi lebih mengerti tentang arti sebuah mimpi? Burung tekukur yang menyanyikan lagu duka di pucuk pepohonan kering, di antara nisan dan bunga kamboja yang berguguran? Kuburan emak jadi tempat yang begitu asing bagi jiwaku yang kesepian, sedang kubur emak hanyalah seonggok tanah yang telah sepi pula dari kenangan.
Emak, engkau jadi begitu dingin, simpan luka-luka dalam hatimu aku tahu kau sedih dan kecewa, tapi dengan apalagi dapat kutebus dosaku? Tak ada sesuatu pun yang telah kulakukan yang mampu membuat engkau bahagia, akulah anak durhaka yang menyebabkan kematianmu, tapi aku akan terus merindukanmu seperti kampung kita merindukan hujan.
Kuambil sejumput tanah dari kuburan emak dan kubungkus dengan saputanganku lalu kumasukkan dalam saku celanaku. Hari ini kutangisi kepergianmu emak, tapi pergilah dengan tenang, karena aku tahu di sanalah rumahmu abadi di mana tak akan kau temui lagi segala kepedihan.
April 2004
Idiot
Bau busuk got mampat memenuhi udara, seperti hendak menumpahkan kekesalan pada dinding setengah papan setengah gedek rumah sederhana berukuran empat kali lima meter persegi milik Partiyem. Seperangkat perabot murah tampak di dalam rumah itu, bale-bale bambu reyot, sebuah bupet kayu mahoni kusam peninggalan mertuanya dan kompor berkarat yang catnya sudah mengelupas di sana-sini dan jerigen plastik warna putih berisi minyak tanah yang tinggal terisi setengah terletak di pojok ruangan dekat pintu triplek bobrok ke arah kamar mandi.
Di ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur terdapat meja makan kecil dari kayu bekas kotak sabun tempat segala macam perlengkapan diletakkan, piring-piring kaleng dan gelas kotor, rantang sayur yang tinggal berisi kuahnya yang bening, kendi tanah liat, dan bakul nasi yang kosong berkerak. Di tengah ruangan terhidang sepiring getuk di atas meja dari papan kayu kas reyot yang hampir somplak dan di belakang ruang duduk yang sempit itu terdapat bilik papan yang tertutup kain korden kumal warna hijau yang berbau apak. Dalam bilik sempit itu menjuntai dua pasang kaki di atas dipan kayu yang mulai lapuk termakan usia, dua orang anak Partiyem, Oni 12 tahun dan adiknya Oon 10 tahun masih lelap tertidur.
Partiyem masuk ke dalam rumahnya setelah pulang berbelanja dari pasar subuh tadi, dan meletakkan sekeranjang sayuran yang hendak dijajakannya kembali di kompleks perumahan di seberang kampungnya. Kacang, bayam, buncis, kol, cabe ia pisah-pisahkan dalam tas kresek tipis warna biru, ia pindahkan kangkung yang sedikit layu dan 3 bungkal kol di tumpukan terbawah bersama bungkusan tahu taqwa dalam plastik berisi air berwarna keputih-putihan, beberapa potong tempe dibungkus daun pisang, ikan pindang, 3 ekor ayam potong, pisang dan pepaya ia biarkan berantakan di atas ubin abu-abu yang retak dan berlobang di sana-sini. Partiyem mengambil gelas dan menuang air putih dingin dari dalam kendi dan meminumnya dengan bernafsu, ia lalu membawa piring-piring dan gelas kotor, rantang sayur dan bakul nasi bekas semalam ke ruang kecil di belakang rumah yang berfungsi sebagai kamar mandi, kakus dan tempat cuci sekaligus. Piring, dan gelas yang telah ia cuci bersih ia masukkan ke dalam baskom dan diletakkannya di atas meja kayu bekas kotak sabun.
“Oniiiii! Bangun! Sudah hampir setengah enam sudah waktunya Mak jalan, Oniiii….di mana kupingmu…..dasar budeg!” Partiyem menyingkap gorden dan menatap gusar anak-anaknya yang masih tergolek malas
“Cepetan… sudah siang! Mak bisa kehilangan pelanggan, bocah tolol!” Partiyem sudah tak sabar mencubit paha Oni anaknya yang sulung.
“Aduh…aduh Mak, sakit!” seru Oni sambil meringis.
“Cepetan bego! Bangunkan Oon dan mandikan adikmu segera…Mak harus segera pergi!”
Oni memasang wajah masam memukul punggung adiknya,“Bangun On! Bangunnn…! cepetan ntar diomelin mak lagi…mau kupukul kamu?” kata Oni geram
Oon membuka matanya ketakutan wajahnya berubah memelas seperti mau menangis, “Cepetan turunnya, kayak keong saja!” Oni menggeret tangan adiknya turun dari dipan dan menarik tangan adiknya dengan kasar ke kamar mandi.
Partiyem sibuk memindahkan sayuran dan barang dagangannya yang lain ke dalam gerobak di depan rumah, gerobak itu peninggalan Parno almarhum suaminya, setelah Parno mati kena demam berdarah gerobak sayur itulah penyokong hidup mereka sehari-hari.
“Oni! Mak pergi…jaga adikmu ya, awas kamu jangan main-main dekat rel kereta lagi! Oniii …kamu dengar kata Mak? seru Partiyem keras.
“Ya ….ya Mak! Pergilah!” jawab Oni kesal sambil mengguyur kepala Oon adiknya yang idiot dengan segayung air dingin.
Gang sempit bau busuk sudah terang tanah, lampu-lampu petromaks sudah dimatikan, orang-orang mulai ramai berlalu lalang. Langit cerah bulan Juni mulai dikotori asap pabrik di seberang Kali Ose. Raungan motor dan deram mobil mulai memenuhi telinga menyemprotkan asap hitam. Partiyem berjalan mendorong gerobak ke arah kompleks perumahan di seberang kampungnya sambil berteriak-teriak, ”Sayuuuuur…..sayuuuuur!”
***
Oni berpikir keras, setelah rencana yang gagal ia laksanakan beberapa hari yang lalu, masih ia rasakan sakitnya pukulan rotan penggebuk kasur itu di pantat dan kakinya, dan kepedihan itu membekas begitu dalam dihatinya….semua gara-gara Pak Bagong penjaga palang kereta api itu yang menggagalkan rencana yang telah ia susun baik-baik, rencana untuk melenyapkan Oon selama-lamanya. Oon adiknya yang idiot ini yang telah meracuni hidupnya merampas semua kebahagiaanya, yang membuatnya tak dapat lagi mengecap bangku sekolah seperti teman sepermainannya yang lain. Setelah bapak mati dan maknya harus membanting tulang menanggung hidup mereka Oon harus menjadi tangunggjawabnya sepenuhnya. Ia terpaksa putus sekolah di samping karena emaknya memang tak cukup mampu dan adiknya yang idiot ini tak ada yang bisa menjaga, begitulah kemana pun ia pergi Oon mesti ikut serta.
Kebencian Oni pada adiknya semakin menyala-nyala terutama karena maknya tampak lebih mengutamakan kepentingan adiknya daripada dirinya, seolah Oon memperoleh semua perhatian dan kasih sayang ibunya. Tak pernah sekali pun Oon kena marah apalagi kena pukul, padahal adiknya itu gobloknya setengah mati. Rasa cemburu yang menyalakan api dendam kesumat dalam dirinya, dan rencana yang telah ia susun untuk melenyapkan Oon telah gagal total. Di luar perhitungannya nyawa Oon berhasil diselamatkan Pak Bagong, Oni sudah mengatur agar adiknya terjatuh di rel saat kereta api bakal melintas tapi tindak-tanduknya yang mencurigakan tidak terlepas dari pengawasan Pak Bagong yang dengan sigap menarik tubuh Oon dan mengusir mereka keluar dari lintasan. Pak Bagong tetangganya yang berperut tambun itu bahkan telah bocor mulut menceritakan semua upaya Oni yang sia-sia kepada emaknya. Tak ampun 10 kali gebukan di punggung, pantat dan kaki harus ia terima, sampai ia harus menghiba-hiba meminta ampun dan andai saja para tetangga mereka yang melihat peristiwa itu tidak menghentikan pemukulan sudah pasti hancur badan Oni di tangan emaknya.
Beberapa hari ini Oni memutar otaknya lebih keras lagi, ia telah belajar dari kejadian di lintasan kereta api, kali ini ia tak boleh gagal oleh karena itu ia mengatur sebuah rencana lain yang telah diperhitungkannya masak-masak. Ia telah menyuruh adiknya makan getuk kenyang-kenyang sementara ia menyiapkan tali plastik yang dicurinya beberapa waktu lalu dari kios Babah Hong di pasar, mencuri itu adalah salah satu keahliannya yang lain yang ia pelajari diam-diam, beberapa kali ia berhasil mengambil bungkusan rokok atau beberapa butir telur di pasar tanpa ketahuan dengan cara yang sangat trampil. Hasil curian itu ia nikmati diam-diam kala emaknya pergi berjualan keliling, dan untuk rencananya kali ini Oni juga sudah berhasil mencuri beberapa bungkus Chiki snack makanan kecil kesukaan Oon. Setelah menelan beberapa potong getuk ia mengambil perlengkapan yang sudah ia persiapkan dan mengajak Oon pergi ke sungai.
Oon memukul-mukulkan tangannya yang terkepal ke dagu, begitulah ulahnya bila sedang bersenang hati, tak sedikit pun ada prasangka dalam hatinya yang polos, “Heuuu…heeeuuu” celoteh Oon dengan gembiranya sambil berjalan berputar-putar. Tangannya tak henti-henti memukul dagu hingga air liurnya meleleh-leleh. Sikap Oon itu membuat Oni kesal apa lagi melihat air liur Oon yang membasahi bajunya. “Diam kamu…kalau kamu nurut nanti kamu boleh makan ini semua” kata Oni sambil menunjukkan Chiki di tangannya.
“Auuu…auuuu” seru Oon sambil mencoba meraih Chiki di tangan kakaknya tapi Oni sengaja mempermainkan adiknya sehingga tangan Oon cuma berhasil menggapai angin.
“Ayo ikut aku ke sungai sebelah sana nanti di sana kau bisa makan sepuasnya” Oni menarik tangan Oon bergegas, dan mereka pun berlari-lari kecil menyeberangi jalan, berbelok ke arah tanggul dan melewati tanah becek berlumpur sepanjang pematang masuk ke daerah pinggiran Kali Ose. Tidak banyak orang lewat, Kali Ose sudah mulai sepi karena orang sudah pada selesai mandi dan mencuci. Oni menggandeng tangan adiknya ke arah hulu di mana telah diperkirakannya tidak akan ada orang yang akan melihat mereka berdua. Di seberang perkampungan yang berbatasan dengan kebun kosong tak terurus milik pak Haji Ramli Oni berhenti dan melihat keadaan sekitarnya, inilah lokasi yang pas sesuai dengan rencananya tidak akan ada orang lewat sini dan Oni memandang ke arah aliran Kali Ose yang tenang namun ia yakin cukup dalam airnya. Angin berhembus tenang, pohon-pohon bergoyang perlahan rumput pun seolah lelap terbuai indahnya cuaca, tak ada yang menyadari gemuruh dalam dada Oni.
“Oon ayo sini, duduk sini!” kata Oni sambil menarik tangan adiknya. Oon menurut saja, matanya yang bening bekerjap-kerjap tanpa dosa.
“Kamu mau ini?” tanya Oni sambil menyodorkan Chiki di depan wajah si Oon, air liur Oon meleleh seketika matanya berbinar-binar. Ia mengoyang-goyangkan kepalanya sambil tersenyum-senyum
“Tapi kita harus main-main dulu…bagaimana?”
Oon masih menggoyang-goyang kepalanya seolah tak mengerti apa kemauan kakaknya. Oni lalu mengambil tali plastik dari saku celananya dan mengikat bungkusan Chiki itu dengan tali kemudian dilemparkannya bungkusan terikat tali itu ke sungai sehingga terapung-apung mengikuti aliran sungai. Sebentar kemudian ditariknya bungkusan itu dan dilemparkannya lagi ke tengah sungai. Hal itu dilakukannya berulang kali seolah seperti orang yang sedang mengail dan memperoleh seekor ikan yang besar. Oon mulai mengerti dan menyambut gembira permainan baru kakaknya, buru-buru ia mencoba menarik tali itu dari tangan kakaknya. Oni sengaja membiarkan tali itu dan menyerahkannya kepada Oon yang tertawa-tawa dengan girangnya. Ditariknya tali dan bungkusan Chiki itu dan kemudian dilemparkannya lagi ke kali, Oni hanya mengamati saja kelakuan adiknya yang tengah berkonsentrasi penuh pada permainan mengasyikkan itu sehingga kemudian saat adiknya lengah Oni dengan sepenuh tenaga mendorong tubuh adiknya hingga tercebur ke dalam Kali Ose yang menderu.
Oon terkejut setengah mati tak menduga kejadian yang begitu tiba-tiba dan kepalanya hampir kelelap, dengan panik ia menggerakkan tubuhnya tak beraturan gelagapan di dalam air yang bergejolak, air sungai segera memenuhi mulut dan hidungnya, “Haep….haep…” tangan Oon yang kecil itu muncul tenggelam ke permukaan air, ia masih berusaha keras mengangkat tubuhnya, tapi seolah semua usaha itu nyaris sia-sia, sedang Oni diam saja berdiri mematung melihat perjuangan adiknya yang tengah bergelut dengan maut. Namun sesaat kemudian terdengar suara ceburan keras yang membuat Oni sangat terkejut, tak disangkanya ada seseorang yang telah terjun ke sungai mencoba menolong adiknya, perasaan Oni tiba-tiba didera oleh rasa takut yang luar biasa yang membuatnya terkencing di celana, dan cekaman rasa itu membuatnya berlari kesetanan tanpa mempedulikan sekitarnya lagi.
Oni sungguh tak pernah menyangka ada Bang Jupri yang hendak memandikan kerbaunya tiba-tiba melintas dan bereaksi spontan begitu melihat seseorang tercebur nyaris kelelap di kali. Oni sungguh tak menduga untuk kesekian kalinya rencananya bakal gagal rupanya Tuhan punya rencana lain, dan untuk dosanya kali itu sekali lagi ia harus membayar mahal. Setelah hampir seharian mencari Partiyem berhasil menemukan Oni tengah meringkuk di gardu ronda seperti anjing yang ketakutan menyembunyikan ekornya, tak ayal lagi Partiyem menyeret tubuh Oni yang menggigil itu dengan kasar di bawah tatapan puluhan mata penuh tanda tanya.
“Dasar anak jadah sekali lagi kamu mau matiin adikmu ya? Belum puas kamu aku gebuki? Awas kamu berani-berani lagi menyakiti Oon aku kirim kamu ke kantor polisi baru nyahok kamu…biar mampus kamu di bui! dasar anak tak tahu diuntung!.. biar modar kamu nggak aku kasih makan!” teriak Partiyem yang kalap sambil menampari wajah dan memukuli tubuh Oni dengan rotan penggebuk kasur. Oni menangis tersedu meringkuk di pojok ruangan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, hancur harapannya hancur juga hatinya, tapi kepedihan itu tidak membuatnya jera justru semakin mengobarkan dendam dan kemarahan di dalam dadanya.
“Tunggu…awas kamu bocah idiot! awas pembalasanku!” rutuk Oni dalam hatinya.
***
Masih terdengar gempita suara massa, kaki-kaki yang berlarian lintang-pukang, atap roboh dan jelaga hitam memenuhi paru-paru perumahan sederhana sepanjang gang yang sempit dan kumuh itu dengan sesaknya rasa perih. Matahari siang yang garang memanggang kecemasan dan Partiyem kalap berlari menuju rumahnya yang terbakar. Api telah menelan kerontangnya seluruh pengharapan, hidup sudah demikian rapuh telah luruh pula dalam tangan-tangan yang melepuh, dan jeritan menyayat membelah hati semua orang di kampung itu hingga berkeping-berkeping. Kaki-kaki panik berlarian menenteng ember plastik, tong-tong berkarat dan robekan terpal penuh oleh teriakan dan air mata. Api berkobar demikian ganas membutakan mata-mata basah dan degup jantung nyaris pecah berjatuhan seperti daun-daun kering gugur ke atas tanah yang hitam oleh debu jelaga.
Api telah menelan jiwa kerontang rumah demi rumah papan dan gedeg itu satu persatu, membakar siang yang tiba-tiba kelam lebih kelam dari malam, menudungi langit dengan pekatnya hawa sang maut, teriakan orang-orang tenggelam dalam kepanikan, teriakan Partiyem tenggelam, semua teriakan telah sama-sama tenggelam oleh kepulan asap, oleh kepungan jelaga yang mengotori wajah dan hati mereka dengan ketidakberdayaan. Sedang dari kejauhan terdengar begitu banyak bunyi-bunyian memenuhi telinga, sirene pemadam kebakaran, teriakan nama-nama, jeritan kayu yang menghitam, dan api pun terbang bersama angin kering merembet jauh hingga ke pasar menyisakan tangisan lapak-lapak rubuh, gemeretak kios-kios hangus, dan rasa geram memenuhi batin karena barang-barang dagangan yang musnah begitu saja!…musnah pula penyambung hidup mereka. Semua jadi mengabur makin lama makin kabur tinggalkan luka hati yang nyeri, yang kian lama kian nyeri, mengubur jiwa mereka menjadi abu.
Orang-orang membuat berbagai pengucapan berbeda atas seluruh kejadian itu dengan bibir-bibir bergetar dan jari-jari menggeletar. Sekali pun mereka mencoba mencari tahu darimana deru api dan asap itu berasal terbawa angin hingga kemana-mana. Langit masih mempertanyakan dan juga sekian banyak orang berkerumun dengan pandangan sedih, pasrah, menangis, marah dan kecewa yang tercampur aduk dan masih juga menaruh sejuta harap pada segala sesuatu yang masih mungkin diselamatkan, tetapi kepedihan itu menggores begitu dalam atas abu panas di tangan mereka, dan kayu-kayu merapuh telah memerah jadi arang menghanguskan hati semua orang yang menangisi korban-korban yang mati. Dan Oon anak Partiyem adalah salah satu diantara para korban, tinggal debu dalam suratan takdirnya terpanggang oleh panasnya bara. “Astaghfirullah!” seru batin semua orang. “Inna li’l-Lah-i wa inna ilay-hi raji’un” doa bibir-bibir pilu bagi bocah kecil yang menemui ajalnya dalam ganasnya kobaran api, dan Partiyem terkapar pingsan.
Namun ada satu hal yang luput dari perhatian orang-orang malang itu, dari kejauhan seorang bocah laki-laki berumur 12 tahun menatap kobaran api yang masih mengganas hingga beberapa saat lamanya sebelum kemudian bocah itu berjalan pergi meninggalkan kampung yang nyaris terbakar habis sambil mengguratkan senyum kemenangan di bibirnya yang terluka.
Kuningan, April 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home